Pandailah Membaca
Pandailah Membaca - Dalam sebuah pertemuan, “Pak, saya ini galau dengan iklan sebuah produk yang mengatakan bahwa perusahannya sangat Indonesia karena telah banyak memberi pekerjaan kepada anak-anak Indonesia. Iklan itu juga menyebutkan perusahaan itu telah mengeluarkan banyak anggaran untuk membantu pembangunan di Indonesia. Bagaimana kita menyikapinya?” tanya Syahrudding. Syahrudding adalah mahasiswa ekonomi Islam UIN Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan. Dia mengajukan pertanyaan itu kepada Aswandi As’an, Tim Beli Indonesia, yang baru usai menyampaikan presentasi Beli Indonesia di kampus UIN Alauddin Tamalate, Makassar, Sulawesi Selatan.
“Tidak ada yang akan membuat kita galau jika kita punya pedoman dan tuntunan. Apalagi hanya sekedar melihat tayangan Iklan yang arena bermainnya itu pada brand atau merek. Branding itu cenderung tidak menggambarkan yang sesungguhnya. Beda dengan karakter yang tidak bisa pura-pura atau dibuat-buat,” jawab Aswandi. Iklan itu adalah “front stage” yang ditunjukkan kepada penonton ketika semua performance sudah siap. Tetapi bagaimana aktor atau pelakonnya sedang bersolek, meludah, ngomel seperti kesehariannya tidak akan ditunjukkan kepada penonton. Mengapa? Karena itu “back stage” yang penonton tidak boleh tahu.
Banyak penonton terbuai dengan adegan di depan panggung dan memuja para pemainnya, serta menganggap apa yang ditampilkan itu sebagai realitas. Padahal kehidupan atau realitas yang sesungguhnya adalah sikap, ucapan dan perilaku mereka ketika di belakang panggung itu. “Maka ketika melihat sebuah tayangan seperti iklan, news atau apa saja, coba lihat apa yang ada di balik panggungnya,” jelas Aswandi. Siapa pemainnya, sutradaranya, pembuat skenarionya, fundingnya termasuk ideologi para awak yang terlibat dalam proses pembuatan tayangan itu. Karena semua itu akan sangat berpengaruh pada isi dan bentuk informasi yang disajikan kepada penontonnya.
Informasi itu adalah arus yang mengalir seperti layaknya air. Dia mengalir melalui gelombang- gelombang yang ada di udara. Hanya mereka yang memiliki perahu yang kokoh dan pedoman yang jelas yang tidak karam atau terombang-ambing dalam hempasan gelombang itu. Indonesia itu adalah kapal besar yang terombang-ambiing dan terancam karam karena pedomannya dibuang. Pancasila yang telah disusun dengan seksama oleh pendiri bangsa tidak kita pakai dan ikut-ikutan pakai pedoman bangsa lain. Padahal arah yang akan kita tuju berbeda dengan tujuan yang ada dalam pedoman mereka. Akibatnya perahu Indonesia itu berjalan semakin jauh dari cita-cita kemerdekaannya.
“Tidak ada yang akan membuat kita risau atau galau. Beli Indonesia memiliki tool atau alat sederhana untuk melihat sesuatu yang tampak rumit,” tegas Aswandi. Untuk menilai sebuah produk misalnya, apakah produk asing atau bukan, lihat siapa pemiliknya. Meskipun dibuat di Indonesia tetapi pemiliknya asing maka itu produk asing. Produk Indonesia itu adalah produk yang dibuat di Indonesia dan dimiliki oleh anak-anak Indonesia. Maka ketika ada sebuah produk asing yang iklannnya meneriakkan tentang Indonesia dan kepentingan Indonesia, maka kita tahu siapa yang mereka bela. “Yang jelas bukan Indonesia, karena Indonesia bukan nasionalisme mereka,” ucap Aswandi. Iklan itu hanya caranya saja, tujuannya sama dengan yang dilakukan Belanda dulu, yakni menguasai dan mengambil resources yang ada di Indonesia.
Jika Belanda dulu melakukannya dengan hard power seperti kekuatan militer, hari ini VOC-VOC modern menaklukkan Indonesia dengan soft power melalui informasi, isu dan agenda global lainnya. Dengan kekuatan militernya Belanda dulu menguasai semua hasil bumi Indonesia. Pertengahan abad ke-18 loji dan gudang di sepanjang pantai utara Jawa mereka kuasai paksa dan melarang orang-orang pribumi untuk berdagang. Hari ini, dengan modus yang berbeda banyak perusahaan asing yang membeli perusahaan Indonesia setelah saham perusahaan itu digoyang dengan isu melalui lembaga yang mereka ciptakan sendiri. Tidak sedikit usaha kecil dan home industri mereka beli untuk dimatikan agar tidak menjadi pesaing.
“Sebagai bagian dari civitas akademika UIN pasti anda semua faham, ayat pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Maka, pandailah membaca,” Aswandi mengakhiri
(beliindonesia.com)